Sabtu, 15 Desember 2007

Bawaslu Sebaiknya dari Berbagai Latar Belakang

[Sinar Harapan] - Tim seleksi (Timsel) calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan berusaha menjaring figur yang memahami proses politik dan pekerja demokrasi bukan hanya mencari kerja. Untuk itu, sebaiknya berasal dari berbagai latar belakang, seperti ahli hukum, politik, keuangan, media massa, dan dekat dengan kalangan masyarakat.

Demikian Ketua Timsel Bawaslu Komaruddin Hidayat dalam diskusi untuk meminta masukan mengenai proses seleksi calon anggota Bawaslu di Jakarta, Jumat (14/12). Narasumber dalam diskusi yang dipandu Didik Supriyanto itu, Idrus Marham (Wakil Ketua Komisi II DPR), dan Jeirry Sumampow (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat atau JPPR).

“Meski banyak yang dapat menjadi anggota Bawaslu, tapi proses penjaringan akan gampang-gampang susah, karena harus mencari format, model dan menjaring orang,” kata Komaruddin.

Dia mengharapkan keberadaan Bawaslu ke depan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau KPK lebih fokus ke korupsi keuangan, Bawaslu harus fokus kepada korupsi politik. Untuk itu, Bawaslu harus diisi orang yang berintegritas dan berwibawa, karena hal itu akan mempengaruhi lembaga.

Menurutnya, Timsel akan memperhatikan track record, administrasi dan referensi dari berbagai pihak atau institusi. Dia menambahkan Timsel akan tetap melakukan tes tertulis yang berkaitan dengan kompetensi dan tes psikologi. “Tapi, tes psikologi hanya sekian persen. Itu hanya untuk mengetahui kecenderungan,” ujarnya.

Jumat, 30 November 2007

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung Harus Mendorong Tegaknya Hukum Bisnis

[The Indonesia Watch] - Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) perlu bergandengan tangan untuk menegakkan hukum sebagai panglima di negara ini. Hal ini penting dikedepankan, agar para hakim perkara yang dinilai melakukan penyimpangan dapat ditindak, sekaligus diberikan sanksi oleh lembaga peradilan tertinggi itu. Pada saat ini, banyak sekali hakim-hakim yang diadukan kepada KY & MA karena dalam memberikan putusan dinilai cenderung memihak kepada pihak tertentu, padahal seharusnya bertindak secara imparsial.

Rupanya, hal ini pula yang diadukan oleh Todung Mulya Lubis, pengacara kondang dari Lubis, Sentosa & Maulana (LSM). Todung berencana mengadukan hakim di PN Negeri Kota Bumi dan PN Gunung Sugih (Lampung) kepada KY & MA karena hakim tersebut cenderung memihak kepada para penggugat. Seperti diketahui, Gunawan Yusuf, bos PT Garuda Panca Artha (GPA) mengadukan pemilik Salim Group terkait dengan penggelapan asset di BPPN, di mana Gunawan Yusuf telah membeli salah satu aset Salim Group melalui BPPN.

Dalam catatan Todung, setidaknya ada beberapa kejanggalan keputusan yang dilakukan oleh hakim di PN tersebut yang sangat kontradiktif. Pertama, dalam putusan itu di satu sisi hakim menyatakan bahwa keluarga Salim telah melanggar ketentuan dalam Master Settlemenet and Acquisition Agreement (MSAA) mengenai asset-aset yang diserahkan harus bersih (free and clear) dari segala utang, namun di sisi lain hakim justeru memutuskan bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan pemerintah kepada keluarga Salim tetap sah dan meningkat.

Kedua, hakim di PN Kotabumi dalam putusannya menyaakan bahwa hanya keluarga Salim yang melanggar MSAA sedangkan BPPN yang turut menandatangani MSAA tidak melakukan pelanggaran karena menjalankan kebijakan pemerintah. Padahal, lembaga BPPN lah yang memberikan SKL sebagai wujud kepastian hukum kepada keluarga Salim.

Ketiga, dalam putusannya kedua PN tersebut juga menyatakan perjanjian pembelian saham dan pengalihan utang bersyarat (Conditional Sale Purchase and Loan Transfer/CSPLTA) antara BPPN bersama Holdiko Perkasa dengan PT Garuda Panca Artha (GPA) batal dan tidak berkekuatan hukum. Padahal, CSPLTA merupakan dasar serta alasan hak bagi Gunawan Yusuf – pemilik Garuda – dalam memiliki Sugar Group Companies (SGC). Dengan dibatalkannya CSPLTA maka secara mutatis mutandis, Garuda tidak lagi memiliki alas hak apapun untuk menggugat keluarga Salim maupun tergugat lainnya.

Terus terang, inilah saatnya kita menghentikan keruwetan-keruwetan hukum yang potensial terjadi dalam berbagai kasus hukum bisnis. Oleh sebab itu, kami mendukung sepenuhnya upaya-upaya untuk mengadukan hakim-hakim yang dinilai memihak atau bertindak tidak imparsial kepada lembaga Komisi Yudusial (KY) maupun Mahkamah Agung (MA) dalam kerangka mencari keadilan yang sesungguhnya. Saatnya kita semua, terutama para hakim menegakkan keadilan mulai dari dalam dirinya sendiri. Mudah-mudahan.

Rabu, 14 November 2007

KPK Harus Memonitor Kasus Penggelapan Pajak Asian Agri

[The Indonesia Watch] - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya turut memonitor kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri, anak perusahaan di lingkungan Raja Garuda Mas (milik Sukanto Tanoto, konglomerat asal Medan). Pemantauan yang dilakukan oleh KPK sangat penting, soalnya kasus ini melibatkan potensi kerugian negara yang sangat besar yaitu sebesar Rp 1,3 triliun. Angka fantastis ini bisa membengkak lagi, soalnya perhitungan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak belum tuntas betul.

Mengapa pemantauan oleh KPK ini penting ? Setidaknya kami memiliki tiga poin argumentasi yang sepantasnya mendapat perhatian sungguh-sungguh dari KPK. Pertama, angka Rp 1,3 triliun potensi kerugian negara ini, merupakan angka yang sangat besar. Jika bisa diselamatkan, maka angka ini tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi prestasi pencapaian target penerimaan pajak oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan (Depkeu) RI.

Kedua, pemantauan KPK atas kasus ini tentu saja menjadi semacam watch dog yang mampu meminimalisasi potensi terjadinya kong-kalikong antara aparat dengan pihak PT Asian Agri. Berdasarkan pengalaman, beberapa kasus yang melibatkan penggelapan pajak, biasanya melibatkan oknum aparat dengan pengusaha. Mudah-mudahan, melalui pemantauan yang dilakukan KPK, dapat menutup rapat-rapat celah bagi aparat untuk melakukan perbuatan jahat terhadap negara dan rakyat Indonesia.

Ketiga, beberapa waktu lalu pernah mencuat adanya wacara out of court settlement atau penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pandangan kami, wacana seperti hanyalah merupakan pekerjaan tim public relations yang mencoba mengalihkan perhatian atau issu yang sedang berkembang. Ini harus diwaspadai secara serius oleh KPK, soalnya jika pejabat Depkeu terjebak dalam skenario demikian, maka hal ini memiliki implikasi buruk : soalnya penyelamatan keuangan negara bisa berantakan (1), sekaligus bisa menghancurkan agenda utama pemerintahan SBY dalam penegakkan hukum (2).

Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami sangat berterima kasih jika pihak KPK, melalui Juru Bicara KPK Johan Budi untuk dapat menjelaskan kepada masyarakat luas, kontribusi apa saja yang sudah dilakukan oleh KPK terhadap mega kasus penggelapan pajak ini. Penjelasan KPK sangat penting, karena di tengah-tengah dukungan publik yang cukup baik terhadap kinerja yang dilakukan oleh KPK, muncul kesan bahwa keterlibatan KPK dalam pemantauan kasus Asian Agri ini tidak ada, atau kalau pun ada (mungkin) sangat minimal. Terima kasih.


Senin, 12 November 2007

Gus Sholah: Usut capres terima dana `illegal logging`

[Harian Terbit] - Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2004, Sholahuddin Wahid, akrab disapa Gus Sholah, meminta aparat penegak hukum memeriksa dan menyelidiki siapa-siapa saja calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2004 yang menerima dana dari konglomerat pencuri kayu atau dana illegal logging.

"Tim sukses kami tidak menerima dana haram seperti itu, dan saya tidak tahu soal itu. Untuk mencari kebenaran, ya tentu penegak hukum harus menelusurinya," kata Gus Sholah menjawab Harian Terbit di Jakarta, Minggu malam (11/11).

Cawapres yang berpasangan dengan Capres Wiranto ini menanggapi pernyataan Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi), Indro S Tjahyono yang mensinyalir beberapa capres menerima dana dari konglomerat pencuri kayu.

Dihubungi terpisah, mantan anggota tim sukses Capres Wiranto, yang juga Ketua DPP Partai Hanura, Samuel Koto juga mengaku tidak mengetahui persis persoalan tersebut. "Faktanya saja belum diungkap, jadi belum tahu kebenarannya. Saya tegaskan, tim sukses Pak Wiranto tidak menggunakan dana haram itu," ujar Samuel.

Lebih lanjut Samuel mengatakan, yang terpenting untuk diketahui publik adalah soal mekanisme aliran dana pemilu. Samuel menilai, selama ini mekanisme aliran dana pemilu tidak berjalan sesuai aturan yang ada.

"Dana pemilu itu harus dipertanggungjawabkan. Aturannya, dana pemilu itu kan harus melalui panitia pemilu, dalam hal ini KPU, KPUD atau KPU tingkat kabupaten. Tapi kenyataannya, banyak dana-dana yang di luar APBD yang masuk ke para peserta pemilu. Ini jelas melanggar ketentuan. Kenapa persoalan ini tidak pernah diungkap? Jadi, sistemnya sudah salah," tambah Samuel.

Hal senada dikemukakan tim sukses Capres 2004 Mega-Hasyim, Andi Djamaro, menurutnya, ia tidak tahu soal dana illegal logging (Pembalakan liar) mengalir kepada capres 2004. "Saya kebetulan hanya bagian pengeluaran dana. Karena itu saya tak tahu soal asal dana dari mana.
Siapa yang bagian penerima dana? Andi mengaku tidak mengetahuinya. "Pokoknya waktu itu saya bertugas mengeluarkan dana untuk keperluan kampanye". [Senin : 12/11/2007, Foto : Tebuireng.Net]

Presiden Diminta Pimpin Pemberantasan Illegal Logging

[Elshinta Online] -Presiden RI dinilai harus menjadi pemimpin atau panglima komando untuk memberantas pembalakan hutan secara liar atau illegal logging di Indonesia.

Hal itu dikatakan Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Soeripto usai acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/11).

Soeripto mengatakan, Presiden sebagai pemimpin negara harus menjadi panglima komando jika ingin benar-benar memberantas illegal logging di Indonesia. Salah satu contoh yang harus dilakukan oleh Presiden adalah dengan cara mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengganti Undang-Undang Kehutanan yang ada saat ini yang dinilai lemah.

Seluruh komponen masyarakat Indonesia dinilai juga harus memiliki persepsi yang sama bahwa illegal logging adalah ancaman bagi kerusakan lingkungan nasional yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan, banjir, dan juga mengakibatkan satwa-satwa punah. (Sabtu : 10/11/2007, Foto : Damar.Net)

Sabtu, 10 November 2007

SKEPHI: Pembalak Liar Setor Uang ke Capres

[Antara News] - Upaya pengentasan aksi pembalakan liar hutan Indonesia tidak akan berlangsung secara serius karena semua pihak di semua tingkat sudah terlibat, kata Indro Cahyono, Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI).

"Mafia pencuri kayu bahkan sudah mengirim uang kepada tiap-tiap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mereka juga menopang dana hampir semua pasangan dalam pilkada," tuding Indro ketika berbicara dalam diskusi bertajuk "Hutan Kau Babat, Kau Kubebaskan" yang digelar jaringan Radio Ramako, di Jakarta, Sabtu.

Menurut Indro, mafia pembalakan liar sudah merasuki semua tingkatan dan instansi, sehingga sulit rasanya bisa membayangkan para pelaku dibawa ke meja hijau dan dihukum. Data SKEPHI menunjukkan bahwa para pelaku pembalakan liar di hutan Indonesia hanya 0,1 persen saja kasusnya yang sampai ke tahap penuntutan di pengadilan, dan itu pun diputus bebas oleh majelis hakim.

"Ini bukan soal hambatan aturan hukum, sampai-sampai kita sulit sekali menjerat para pelaku pembalakan liar. Tapi ini adalah soal political will apakah kita benar-benar ingin memberantas kejahatan ini atau tidak," ujar Indro.

Belajar dari putusan bebas Adelin Lis, terdakwa pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, baru-baru ini, lanjut Indro, terlihat bahwa hukum telah diciptakan sedemikian rupa sehingga ada dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum.

Bagi Departemen Kehutanan, pembalakan liar adalah tindakan membalak di luar kawasan yang diberikan izin HPH atau HTI. Bila terbukti membalak di luar kawasan berizin, maka pelakunya kenakan sanksi administratif dan denda saja.

"Sedangkan bagi aparat penegak hukum, aksi pembalakan di luar kawasan berizin harus dikenakan sanksi pidana, karena sudah merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan orang banyak," kata dia.

Indro mengkritik ketentuan hukum buat para pembalak liar yang masih longgar dan hanya diganjar denda atau sanksi administratif, padahal dampak kegiatan itu sangat membahayakan orang lain. "Seharusnya sanksi administratif pun ada batasannya, jangan tidak terbatas seperti yang ada sekarang," katanya.

Khusus mengomentari putusan bebas Adelin Lis, Indro melihat putusan itu tak lebih dari bukti kuatnya mafia pembalakan liar yang sudah menguasai sistem peradilan di Tanah Air. "Adelin adalah gambaran karikatur kejahatan korporasi pencuri kayu, yang para pelakunya kebal dari jeratan hukum," ujar dia. Bahkan di Jawa, masih kata Indro, jaringan pelaku pembalakan liar berkekuatan untuk mengendalikan para jaksa, hakim, dan aparat penegak hukum.

Mafia pembalakan liar hutan melindungi Adelin Lis, ungkap Indro, "Lihat saja, hakim kasus Adelin langsung naik pangkat setelah memberi putusan bebas, dan mereka pun dipindah ke luar kota. Mereka juga menolak diperiksa oleh Komisi Yudisial."

Sementara itu Mulfachri Harahap, Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, mengatakan bahwa multi-tafsir yang muncul di kasus pembalakan liar harus segera ditinjau oleh DPR. Sebagai pihak yang membuat undang-undang, DPR berkewajiban melihat celah hukum agar tidak menimbulkan tumpang tindih dan tafsir beragam. (Sabtu : 10/11/2007)

Kamis, 08 November 2007

Serikat Pekerja Lapor Polisi, Bank Mandiri Tak Mengakui

[Kontan] - JAKARTA. Serikat Pekerja Bank Mandiri (SPBM) melaporkan Direktur utama (Dirut) Bank Mandiri, Agus Martowardojo ke Mabes Polri. SPBM melaporkan Agus lantaran memperpanjang masa skorsing pada 14 orang anggota SPBM yang terlibat dalam unjuk rasa menuntut kesejahteraan karyawan pada Agustus silam.

Mirisnu Viddiana, Ketua SPBM, mengungkapkan SPBM melaporkan Agus ke polisi dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan dan anti serikat pekerja. "Yang penting adalah tuduhan anti serikat pekerja," kata Viddiana kepada KONTAN, Rabu (7/11).

Kedua tuduhan itu diatur dalam Pasal 335 KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Untuk pelanggaran undang-undang serikat buruh, SPBM menggunakan Pasal 28 juncto Pasal 43. Kedua pasal itu mengatur tentang perlindungan hak berorganisasi dan sanksi bagi pihak yang menghalangi hak untuk membentuk serikat pekerja atau serikat buruh.

Menurut Viddiana, yang juga menjabat Assisten Vice Presiden Bank Mandiri, direksi memutuskan memperpanjang masa skorsing hingga tiga bulan ke depan atau sampai Januari 2008. "Padahal, masa skorsing dimulai sejak Agustus dan September lalu," ujar Viddiana.
Tuntutan yang hingga kini belum terpenuhi adalah permintaan kenaikan gaji 20%, transparansi insentif untuk karyawan, tunjangan kesehatan, program pensiun hingga jenjang karier. Soal insentif misalnya, menurut Viddiana, manajemen memang sudah memberikan insentif namun penentuan besarannya tak transparan.

Namun, I Wayan Agus Mertayasa, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, meragukan laporan itu. "Kami sudah meminta klarifikasi kepada Ketua SPBM Cahyono Syam Sasongko bahwa tidak pernah ada laporan ke Mabes Polri," katanya melalui SMS kepada KONTAN.

Wayan juga menyatakan bahwa Bank Mandiri tak mengakui SPBM yang diketuai Viddiana. "Pengurus SPBM yang saat ini tercatat pada Dinas Tenaga Kerja Jakarta adalah SPBM Pimpinan Cahyono," tandasnya.

Bank Mandiri juga menegaskan telah memenuhi tuntutan karyawan. Misalnya, sepanjang 2006, Bank Mandiri sudah memberikan insentif kepada pegawai pelaksana secara keseluruhan hingga 19,9 kali gaji, dan sudah menaikkan gaji sebanyak dua kali sepanjang 2007. Kenaikan itu terjadi pada Februari sebesar 10% dan Juli sekitar 4%-18% yang disesuaikan dengan prestasi tiap-tiap karyawan. (Kamis : 8/11/2007)

Polri Tuduh Ada Konspirasi dalam Kasus Adelin Lis

[Antara News] - Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto, menuduh ada konspirasi antara aparat dengan mafia pembalakan liar dibalik vonis bebas terdakwa Adelin Lis di Pengadilan Negeri Medan, 5 November lalu. "Ada indikasi telah terjadi konspirasi dengan mafia illegal logging sehingga terjadi vonis bebas terhadap Adelin Lis," kata Sisno di Jakarta, Kamis pagi.

Sisno menjelaskan, dugaan adanya konspirasi itu muncul karena proses pelepasan Adelin Lis dari tahanan kejaksaan berlangsung secara tidak wajar pasca keluarnya putusan majelis hakim.
"Vonis bebas Adelin Lis terjadi tanggal 5 November 2007 sekitar jam 13.00 WIB siang dan dan dilepaskan dari tahanan jam 23.30 malam dengan Surat Eksekusi No 2240/Pid B/2007 tertanggal 1 November 2007," katanya

Menurut dia, surat eksekusi yang dikeluarkan sebelum putusan hakim itu patut dicurigai. "Kok bisa vonis tanggal 5 November tapi surat eksekusi tanggal 1 November ?," ujarnya. Hal lain yang memperkuat adanya konspirasi adalah waktu pelepasan Adelin yang dilakukan tengah malam. "Mana ada mengeluarkan tahanan kok tengah malam kalau hal ini bukan bagian dari konspirasi," katanya.

Kendati divonis bebas, Adelin Lis belum bisa bernafas lega sebab jaksa penuntut umum melawan putusan hakim dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Polri pun telah mengeluarkan jeratan baru untuk Adelin yakni dugaan tindak pidana pencucian uang bahkan dalam kasus ini ia telah menjadi tersangka.

Akan tetapi, usai dikeluarkan dari tahanan, Adelin menghilang padahal penyidik Polri sedang memburunya untuk dimintai keterangan dalam kasus pencucian uang. Polda Sumut telah menyatakan sebagai Adelin buron. (Kamis : 8/11/2007)

Selasa, 06 November 2007

Menilai Wajar Adelin Lis Bebas, Komentar Menhut MS Kaban Cukup Aneh

[Okezone Dotcom] - Departemen Perhutanan (Dephut) akan memproses kesalahan administrasi atas perkara illegallogging yang dilakukan oleh terdakwa pembalakan liar Adelin Lis. Hal itu diungkapkan Menteri Kehutanan MS Kaban, usai rakor di Departemen Keuangan, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (5/11/2007).

Menurutnya, jika penebangan dilakukan di kawasan hutan yang tidak berizin maka itu termasuk illegal logging. Seperti diketahui, vonis oleh Pengadilan Negeri Medan terhadap kawasan yang berizin adalah bebas.

Dia menjelaskan, inpres memerintahkan operasi dilakukan dalam kawasan hutan yang tidak punya izin. Tapi selama ini yang punya izin pun terkena operasi. "Jadi artinya wajar jika hakim memutuskan seperti itu ke Adelin Lis. Saya komentarnya menghormati sistem," tegasnya.

Kaban menyerahkan persoalan banding tersebut ke Kejaksaan. Mengenai hukuman administrasi yang ditangani Dephut, Kaban memastikan akan ada denda administrasi.

"Ya mereka akan kena denda administrasi.dendanya cukup besar,saya tidak ingat. Dia punya izin,dia bayar pajak. Sekarang saya harus liat dulu keputusan hakim seperti apa.Jika itu menyatakan ada kesalahan administrasi, maka akan ditindak lanjuti," tutur MS Kaban.

Untuk diketahui, Adelin diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Medan atas dugaan pembalakan liar. Direktur Keuangan PT Keang Nam Development itu sebelumnya dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. (Selasa : 6/11/2007)

Vonis Bebas Adelin Antiklimaks Pemberantasan Pembalakan Liar

[Media Indonesia] - Putusan bebas murni Adelin Lis dianggap sebagai antiklimaks dari komitmen penegakan hukum pemerintah untuk memberantas para pembalak liar. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad menyampaikan hal itu saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Senin (5/11).

Menurut Chalid, putusan tersebut makin menunjukkan bahwa Pemerintah tidak serius dalam penegakan hukum para pelaku kejahatan kehutanan. "Ini antiklimaks yang bisa menghancurkan kepecayaan publik terhadap komitmen penegakan hukum di Indonesia," tandas Chalid.

Selain kepercayaan masyarakat dalam negeri, Chalid juga mengingatkan keputusan bebas Adelin Lis juga akan menghancurkan kepercayaan dunia internasional terhadap komitmen Indonesia pada hukum dan lingkungan.

"Putusan ini juga bisa menghancurkan kepercayaan dunia internasional apalagi hendak dilangsungkannya konferensi internasional perubahan iklim di Bali beberapa waktu ke depan," tandas Chalid.

Menurut dia, publik dalam maupun luar negeri tentunya akan melihat putusan bebas tersebut sebagai salah satu drama hukum bagi pembalak liar yang ujung-ujungnya dibebaskan. Apalagi didukung dengan fakta bahwa di tengah proses peradilan Adelin Lis, Menhut MS Kaban sempat melakukan korespondensi dengan kuasa hukum Adelin.

Dalam korespondensi tersebut, Kaban menyatakan bahwa yang terjadi dengan hutan Sumut bukan kesalahan Adelin namun hanyalah kesalahan administrasi semata. "Terlepas dari fakta hukum di pengadilan, Korespondesi itu bisa diinterprestasikan sebagai pendapat yang mendorong putusan bebas Adelin Lis. Ini jelas bentuk ketidakseriusan pemerintah meringkus kejahatan pembalakan liar," tukas Chalid.

Pada kesempatan itu, dia juga mengkritik Menkopolhukam yang menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tak menemukan adanya indikasi keterlibatan aparat pemerintah dalam pembalakan liar. Pernyataan yang disampaikan usai rapat paripurna Tim Pemberantasan Illegal Logging, Jumat (2/11) lalu, menurut Chalid, sebaiknya ditarik dan diserahkan pada proses hukum yang benar. "Karena jelas-jelas kami menemukan fakta adanya keterlibatan pejabat negara (dalam pembalakan liar)," tutur dia.

Secara terpisah, pengamat hukum pidana UI Rudi Satryo mengatakan bahwa putusan bebas Adelin menunjukkan lemahnya kemampuan aparat hukum Indonesia dalam menunjukkan bukti pembalakan liar. "Ini harus dievaluasi. Karena inilah bukti bahwa aparat kita masih lemah. Masih ada kesempatan kasasi di MA. Pembuktian itu yang paling utama dikuatkan," kata Rudi.

Dia melanjutkan bahwa selama ini memang pemerintah yang berkuasa dinilai mulai menunjukkan adanya komitmen dalam penegakan hukum. "Tapi masalahnya sekarang adalah ketidakmampuan aparat kita membuktikan. Makanya sekali lagi seharusnya jangan main-main. Hars benar-benar kuat dalam proses hukumnya," tandasnya. (Selasa : 6/11/2007)

Sabtu, 03 November 2007

Laks Akhirnya Jadi Korban Tebang Pilih SBY

[Harian Terbit] -Penetapan mantan Menneg BUMN, Laksamana Sukardi, sebagai tersangka kasus penjulan dua tanker VLCC milik Pertamina, menunjukan Pemerintahan SBY masih melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.

Beberapa sumber yang dihubungi terpisah Jumat petang terkait penetapan Laks sebagai tersangka, sama menuding di balik penetapan itu sudah terjadi tebang pilih dalam penegakan hukum. Hanya saja, alasan di balik kebijakan tebang pilih itu yang berbeda. Orang-orang dari kelompok Laks melihat, tebang pilih itu terjadi karena ada kekuatan politik tertentu melalui Pansus DPR yang berhasil menunggangi kejaksaan.

Mereka tak melihat, tebang pilih itu sebagai kebijakan Presiden SBY yang hanya menangkapi lawan-lawan politiknya. Sementara Sekjen Partai Persatuan Daerah (PDP) Adhie M Massardie mengemukakan, penetapan Laks sebagai tersangka masih terkesan karena politik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Soalnya, hingga kini masih banyak koruptor kakap yang belum dijadikan tersangka, padahal bukti sudah sangat kuat untuk menangkap mereka.

Menurut mantan juru bicara Kepresidenen di era Gus Dur itu, dalam hal pemberantasan korupsi ada skenario dari pemerintahan SBY-JK untuk menangkapi 'lawan-lawan' politiknya agar mulus kembali menjadi presiden pada Pemilu 2009. Terutama lawan-lawan politik yang berpotensi besar menjadi saingannya pada 2009.

Kuasa hukum Laksamana Sukardi (Laks), Petrus Selestinus kepada Harian Terbit di Jakarta, kemarin, mengatakan tidak terkejut dengan sikap Kejaksaan Agung menetapkan Laks sebagai tersangka, sebab kasus ini sejak awal sudah menjadi target Pansus Tanker DPR RI dengan memperalat tangan Jaksa Agung agar Laks dijadikan tersangka.

''Kini kejaksaan Agung sudah berhasil 'ditunggangi' dalam menetapkan Laksamana tersangka, demi memenuhi keinginan sekelompok orang di Pansus DPR-RI," kata Petrus.

Bukti masih tebang pilihnya pemberantasan korupsi, terlihat dalam kasus pembelian alat sidik jari Depkumham, di mana hanya Sekjennya yang dijadikan KPK sebagai tersangka.

Ketua Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Noviantika Nasution berpendapat, dijadikannya Laks sebagai tersangka sangat kental nuansa politis dibanding penegakan hukum. Hal ini terlihat jelas dari pengusutan yang dilakukan selama ini.

"Dua tahun ditangani KPK, lembaga ini tidak menemukan adanya tindakan Laks yang merugikan keuangan negara. Tapi, begitu diambilalih Kejaksaan Agung, malah Laks langsung jadi tersangka. Tentu hal ini ada apa-apanya. Saya melihat, ini adalah permainan Pansus Tanker, Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung. Anda kan tahu siapa di Pansus dan di Komisi III," kata Noviantika tanpa mau menyebutkan nama fraksi dan orang yang dia maksud. (Sabtu : 3/11/2007).

Selasa, 30 Oktober 2007

Penyelesaian Penggelapan Pajak Di Luar Pengadilan Menusuk Hati Rakyat

[The Indonesia Watch] - Rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk mempertimbangkan kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri (anak perusahaan Raja Garuda Mas milik taipan Sukanto Tanoto) di luar pengadilan, sangat memprihatinkan dan menusuk-nusuk hati nurani rakyat. Apalagi, potensial kerugian negara yang berhasil dideteksi oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencapai angka Rp 1,3 triliun lebih, sebuah mega skandal keuangan yang sangat luar biasa besar.

Seharusnya Presiden SBY langsung mengkoordinasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung untuk bekerjasama dengan Ditjen Pajak segera mengusut tuntas kasus ini, serta menyelidiki motivasi Menkeu dibalik rencana penyelesaian di luar pengadilan atau out of court settelement.

Kasus ini sangat penting untuk mendapat perhatian publik, soalnya pemerintahan SBY yang dinilai mulai tegas dalam penegakkan hukum, belakangan malah dicitrakan melakukan “tebang pilih” dalam beberapa kasus hukum yang melibatkan pengusaha dan perbankan. Persepsi itu akan menjadi kenyataan, jika kasus Asian Agri benar-benar digiring ke luar pengadilan oleh oknum-oknum pejabat pemerintahan SBY.

Seperti diberitakan media massa, Direktur Intelejen dan Penyidikan Pajak Mochammad Tjiptardjo menjelaskan, setidaknya Asian Agri harus membayar negara sebesar Rp 6,5 triliun, jika pajak yang diduga digelapkan sekitar Rp 1,3 triliun. Berdasarkan laporan terakhir dari penyidik pajak, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun, naik dari perkiraan semula, Rp 794 miliar. Angka tersebut diperoleh dari praktek transfer pricing, hedging, dan pengeluaran fiktif.

Untuk meminimalisasi kerugian negara yang kemungkinan bobol dalam kasus ini, kami mendesak Pemerintahan SBY untuk menyelesaikan kasus ini tetap dalam koridor hukum. Sehingga penyelesaikannya tidak di luar pengadilan yang justeru mengundang hadirnya setan korupsi – yang kini kita perangi berasama. Pemerintahan SBY harus mampu mendorong penyelamatan uang negara dengan melimpahkan kasus ini kepada Kejaksaan Agung, untuk selanjutnya diajukan ke pengadilan. Insya Allah.

(Sumber : Rakyat Merdeka Dotcom (31/10/2007), Kontan (31/10/2007), Pelita (31/10/2007), Majalah Trust (5-11/11/2007), Majalah Forum Keadilan (5-11/11/2007).

Senin, 22 Oktober 2007

Kecewa Pengangkatan Tim Sukses SBY-JK di Sejumlah BUMN

[The Indonesia Watch] - Kami sungguh prihatin dan kecewa membaca berita bahwa sejumlah tim sukses SBY-JK kini memperoleh kompensasi dengan menduduki sejumlah posisi penting di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mengapa ? terus terang, kejadian demikian sama sekali bukan pembelajaran yang baik bagi bangsa, bahkan bisa menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan nasional ke depan. Parah sekali jika pemimpin nasional berganti, model seperti ini dilestarikan oleh penerusnya.

Dalam pandangan kami, akan lebih baik dan elegan, apabila para tim sukses di masa lalu tersebut dapat dtempatkan di perusahaan-perusahaan milik keluarga SBY, maupun di perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kolompok usaha JK. Dapat juga ditempatkan di perusahaan-perusahaan milik simpatisan SBY - JK. Dengan demikian bisa menepis upaya politisasi isu penempatan sim sukses SBY – JK di perusahaan BUMN, jika ada.

Media massa mencatat sejumlah tim sukses kini menjadi komisaris dan dewan pengawas di sejumlah BUMN, seperti Mayjen (Purn.) Samsoeddin (mantan Sekjen Tim Kampanye) menjadi Komisaris Jasa Marga, Umar Said (mantan Ketua Seksi Kampanye) menjadi Komisaris Pertamina, Brgjen Rubik Mukav (mantan Ketua Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Dewan Pengawas TVRI, Hazairin Sitepu (mantan Waka Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Ketua Dewan Pengawas TVRI, Dino Patti Djalal menjadi Komisaris PT Danareksa.

Selain itu ada juga nama Mayjen (Purn) Soeprapto (mantan Ketua Seksi Pembinaan, Penggalangan, dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris Indosat, yahya Ombara (Sekretaris Seksi Pembinaan, Penggalangan dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris PT Kereta Api Indonesia (KAI), Mayjen (Purn) Sulatin (mantan Koordinator Wilayah Sulawesi) sebagai Dewan Pengawas Bulog. Beberapa mantan anggota Tim Khusus juga memperoleh jabatan komisaris, seperti Andi Arif (Pos Indonesia), Heri Sebayang (PTP Sumatera Utara), Syahganda Nainggolan (PT Pelindo). Tidak tertutup kemungkinan masih ada nama lain yang tidak termonitor media.

Oleh sebab itu ke depan, sebaiknya Presiden dan Menteri Negara BUMN dapat menetapkan kriteria-kriteria yang jelas mengenai pengangkatan pengurus BUMN ini. Jika perlu dimasukkan klausul bahwa pihak-pihak yang terafiliasi dengan kekuasaan diminimalisasi, agar pemikiran negatif bahwa BUMN seringkali jadi bulan-bulanan dan "sapi perah" kekuasaan, mulai bisa dihilangkan.

Terus terang, bangsa ini belum menjadi bangsa yang senang-gembira, kita masih susah dengan berbagai persoalan rakyat sehari-hari. Jangan lagi ditambah dengan persoalan-persoalan lain yang kita sendiri paham betul penyelesaiannya sulit. Kami sangat berterima kasih, jika Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil dapat menjelaskanmasalah ini kepada karyawan BUMN dan juga kepada publik – sebagai stakeholder BUMN..

Selasa, 16 Oktober 2007

KPK Segera Usut Voucher BUMN

[Tempo Interaktif] - Komisi Pemberantasan Korupsi segera memanggil direksi badan usaha milik negara untuk mengklarifikasi pembelian voucher belanja dalam jumlah besar menjelang hari raya Idul Fitri. Voucher ini diduga diberikan guna memuluskan urusan bisnis."Direksinya akan segera kami panggil," kata Direktur Gratifikasi KPK Lambok Hutauruk saat dihubungi Tempo kemarin.

Namun, Lambok tidak menjelaskan kapan pemanggilan itu dilakukan dan BUMN mana saja yang akan dipanggil. "Yang jelas, sudah diatur soal itu," katanya.Pembelian voucher dalam jumlah besar itu ditemukan KPK berdasarkan pengamatan di lapangan sejak 11 hari sebelum Idul Fitri. Diduga, voucher itu diborong untuk dibagi-bagikan sebagai parsel Lebaran.

Pengamatan itu, menurut Lambok, dilakukan di berbagai tempat, misalnya pusat belanja dan sejumlah kantor BUMN. Jenis voucher yang ditemukan adalah voucher belanja dengan nominal Rp 100 ribu per lembar. "Keseluruhannya bernilai jutaan rupiah," ujar Lambok.

Pemberian voucher belanja itu, dia menegaskan, masuk dalam ranah gratifikasi jika memang ada kaitannya dengan tugas dan kewenangan pejabat negara. Padahal, katanya, KPK telah mengirimkan surat kepada semua BUMN agar tidak menggunakan ritual agama demi melancarkan bisnis.

Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil justru menilai pemberian voucher oleh BUMN masih dalam batas kewajaran. "Saya berprasangka baik saja, barangkali voucher itu tunjangan hari raya untuk karyawannya," kata Sofyan saat acara halalbihalal di kediamannya, Jalan Denpasar, Jakarta, Sabtu lalu.

Menurut Sofyan, pemberian voucher masih dalam batas kewajaran apabila mengikuti ketentuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan surat edaran Komisi Pemberantasan Korupsi. Antara lain, Sofyan menyebutkan, pemberian voucher dari atasan untuk bawahan, dari direksi untuk relasi. Selain itu, nilai voucher tidak lebih dari Rp 250 ribu.

"BUMN sebagai usaha bisnis memberikan kepada relasi bisnisnya, itu tidak apa-apa," katanya. Yang tidak diperbolehkan, menurut dia, antara lain pemberian voucher dari bawahan ke atasan dan ke pejabat pemerintah. (*)

Jumat, 12 Oktober 2007

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H

Keajaiban-keajaiban dapat lahir dari sebuah senyum. Senyum dapat mencairkan suasana, menghangatkan keluarga dan mempererat silaturahmi kita bersama. (Sumber : Teks Iklan Lebaran Pertamina)

Segenap Pimpinan dan Karyawan The Indonesia Watch Menyampaikan : Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Minggu, 07 Oktober 2007

Ingat Janji Fauzi Bowo , Besok Kita Tagih Realisasinya

[The Indonesia Watch] - Fauzi Bowo dan Prijanto akhirnya dilantik menjadi Gubernur/Wagub DKI Jakarta. Tentu saja semua warga berharap agar gubernur baru ini dapat merealisasikan janji-janji yang diumumkan kepada warga, pada saat kampanye tempo lalu. Pengalaman yang sudah-sudah, biasanya janji tinggal janji, namun realisasinya entah sampai di mana.

Warga Jakarta tentu saja tidak mau janji kosong. Dengan penuh kesadaran untuk menciptakan Jakarta yang aman, nyaman, dan sejahtera, sebaiknya semua komponen warga Jakarta mencermati perjalanan kinerja kepemimpinan Fauzi Bowo. Janji yang direalisasikan tentu pantas kita puji, tetapi yang tidak direalisasikan tentu kita akan tagih bersama-sama.

Berdasarkan catatan media, berikut ini sebagian kecil janji-janji Fauzi Bowo semasa kampanye. Pertama, soal pendidikan : meningkatkan mutu pendidikan dan menambah kualitas sekolah gratis yang selama ini sudah berjalan dan mengembangkan sekolah kejuruan. Kedua, soal kesehatan : meningkatkan kualitas rumah sakit pemerintah dan menyediakan obat-obatan yang cukup dengan harga yang terjangkau.

Ketiga, soal transportasi : melanjutkan pembangunan monorel, subway, dan sejenisnya demi kelancaran arus lalu lintas. Keempat, soal ekonomi : penguatan akses modal dan akses pasar bagi UKM dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Kelima, soal sosial : memberdayakan masyarakat untuk mengembangkan diri sendiri sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Dan, masih banyak janji lainnya.

Tentu saja, untuk merealisasikan janji-janji tersebut tidak semudah mengucapkannya. Namun demikian, sebaiknya Fauzi Bowo/Prijanto sudah memberikan sinyal-sinyal atau tanda-tanda untuk merealisasikannya dalam Seratus (100) Hari Pertama sebagai Gubernur/Wakil Gubernur. Jika dalam 100 hari pertama masih belum ada sinyal positif untuk merealisasikan janjinya, kami merasa pesimistis Fauzi Bowo bisa lebih sukses dibanding Sutiyoso, pendahulunya. Kita lihat saja, nanti.

(Sumber : IndoPos (4/10/2007), Kompas Dotcom (7/10/2007), Sinar Harapan (8/10/2007), Kontan (9/10/2007), Media Indonesia ((15/10/2007)

Jumat, 28 September 2007

Soal Bingkisan, KPK Seharusnya Juga Tegur Pengusaha

[The Indonesia Watch] - Ternyata masih ada perusahaan yang nekat memberikan parcel, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melarang keras pejabat negara menerima bingkisan lebaran. Salah satunya adalah RGM Indonesia (Raja Garuda Mas Group) yang mengirim bingkisan kepada Aulia Rahman, Anggota FPG DPR-RI – yang juga Ketua Panja Illegal Logging.

Untunglah, Aulia Rahman termasuk pejabat yang takut melanggar UU Gratifikasi dan patuh terhadap larangan dari KPK, sehingga Aulia Rahman segera akan mengembalikan bingkisan tersebut kepada KPK. Sikap tegas yang dilakukan oleh wakil rakyat itu tentu saja patut mendapat apresiasi yang baik dari masyakarat dan pemerintah karena berani mempertahankan harga diri dan martabatnya. Seharusnya para pejabat publik lainnya mengikuti langkah Aulia Rahman.

Namun demikian, di sisi lain, seharusnya KPK juga menegur keras perusahaan dan pengusahanya yang nyata-nyata sudah memberikan bingkisan kepada pejabat meskipun dilarang. Sangat tidak pantas pengusaha menggoda para pejabat dengan bingkisan-bingkisan yang potensial menghantarkan para pejabat ke penjara – jika melanggar pasar gratifikasi.

Dalam konteks ini, kami menghimbau sebaiknya perusahaan juga mengedepankan aspek moral yang tercantum dalam kaidah good corporate governance (GCG). Terima kasih.

(Sumber : Okezone Dotcom (28/9/2007), Rakyat Merdeka Dotcom (28/9/2007), Kontan (29/9/2007), Sinar Harapan (29/9/2007), Koran Tempo (1/10/2007), Pelita (1/10/2007), Suara Pembaruan (1/10/2007), Bisnis Indonesia (3/10/2007), Majalah Tempo (14/10/2007, Majalah Trust (8-21/9/2007), Bisnis Jakarta (8/10/2007).

Ketua Panja Illegal Logging DPR Kembalikan Bingkisan dari Raja Garuda Mas (RGM)

[Detik Dotcom] - Meski KPK telah melarang pejabat negara menerima bingkisan Lebaran, ternyata masih ada perusahaan yang nekat memberikan parcel. Salah satunya PT RGM Indonesia. Parcel itu diterima Aulia Rahman, Ketua Panja Illegal Logging yang juga anggota FPG DPR. Namun, karena takut dengan pasal gatifikasi, Aulia berencana mengembalikan bingkisan berukuran 25 X 25 cm itu.

“Saya ini pejabat negara, karena ada UU Gratifikasi dan seruan lasangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya akan mengembalikan ini,” kata Aulia dalam jumpa pers di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Jumat (28/9).

Aulia juga mengaku tidak kenal mengenal pimpinan RGM. “Saya tidak kenal dengan para pejabatnya, dan pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu. Memang saya menjadi Ketua Panja Illegal Logging, dan saya pernah mengeluarkan pernyataan kerusakan hutan tanggung jawab siapa,” beber Aulia.

Bingkisan yang dibungkus dengan kertas coklat itu diberikan menjelang buka puasa Kamis, 27 September. Bingkisan itu dikirimkan langsung ke rumahnya di kawasan Cikini. “Saya tidak berhak membuka di sini, biar nanti saya serahkan ke KPK biar dibuka, kalau mau.” Kata Aulia.

Kepada wartawan, Aulia memperlihatkan amplop bertuliskan “Kepada Yth, Bapak Aulia Rahman SH di tempat”. Di sudut lain tertulis “Dari PT RGM Indonesia di Jalam MH Thamrin, No 31, Jakarta 10230”. “Namanya saja sudah salah, padahal saya sudah doctor,” cetus Aulia. (*)

Rabu, 26 September 2007

Mendukung BPK Soal Audit Pungutan Biaya Perkara MA

[Indonesian Care Group] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu mendapat dukungan publik secara luas. Mengapa ? sebagaimana manusia pada umumnya, para pejabat MA juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Apalagi BPK merasa dihalang-halangi ketika akan melakukan audit soal pungutan biaya perkara– yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier -- seperti diberitakan media ini -- BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.Keberatan MA tersebut mengherankan, karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Kami dan Indonesian Good Governance Care (IGCC) sangat menyesalkan sikap MA yang tidak kooperatif untuk diaudit oleh BPK. Padahal jika tidak ada persoalan, seharusnya MA dengan sikap ksatria tidak mempermasalahkan soal audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara – sebagaimana yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya. Penolakan yang dilakukan oleh MA semakin menjatuhkan image MA karena tidak transparan dan tidak akuntable. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara.

Sudah sepantasnya kita semua menyemangati BPK untuk tidak kendor melawan arogansi institusi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini, justeru seharusnya mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik, yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY. (*)

Penggelapan Pajak Asian Agri : Kerugian Negara Bisa Lebih Besar

[Republika] - Kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan PT Asian Agri, perusahaan milik Sukanto Tanoto, diperkirakan lebih besar dari perhitungan semula. Untuk mengungkapnya, Ditjen Pajak telah memanggil puluhan saksi dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP).

''Jumlah saksi sementara sudah 53 orang, yang dipanggil untuk di-BAP-kan sudah 46 orang,'' kata Dirjen Pajak, Darmin Nasution, Selasa (25/9). Sejauh ini, Ditjen Pajak telah menetapkan lima tersangka, yakni jajaran direksi Asia Agri. Hasil penyidikan Ditjen Pajak, ungkap Darmin, jumlah kerugian negara diperkirakan terus bertambah.

Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak, Mochamad Tjiptardjo, menambahkan, aparatnya terus berupaya menguatkan bukti-bukti bahwa Asian Agri dan pemiliknya sengaja menggelapkan pajak. ''Kalau bukti dan data yang dimiliki pemerintah tidak kuat, dibawa ke pengadilan, nanti tersangkanya bisa lepas, kan sayang,'' kata Tjiptardjo.

Menurut dia, kasus Asian Agri adalah kasus berat dan melibatkan 15 perusahaan milik Sukanto Tanoto. ''Ini kasus terbesar yang pernah ditangani Ditjen Pajak, makanya kita hati-hati.''
Asian Agri diduga melakukan tiga modus penggelapan pajak dengan total kerugian negara mencapai Rp 786,3 miliar. Pertama, menggelembungkan biaya perusahaan Rp 1,5 triliun. Kedua, menggelembungkan kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga, mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar.

Lewat ketiga modus ini, Asian Agri diduga menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Harusnya, pemerintah menarik PPh sebesar 30 persen atas keuntungan yang disamarkan menjadi kerugian. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan ini, jelas Darmin, berasal dari SPT tahun pajak 2002-2005. Untuk SPT tahun pajak 2006 belum tercantum. (*)