Jumat, 28 September 2007

Soal Bingkisan, KPK Seharusnya Juga Tegur Pengusaha

[The Indonesia Watch] - Ternyata masih ada perusahaan yang nekat memberikan parcel, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melarang keras pejabat negara menerima bingkisan lebaran. Salah satunya adalah RGM Indonesia (Raja Garuda Mas Group) yang mengirim bingkisan kepada Aulia Rahman, Anggota FPG DPR-RI – yang juga Ketua Panja Illegal Logging.

Untunglah, Aulia Rahman termasuk pejabat yang takut melanggar UU Gratifikasi dan patuh terhadap larangan dari KPK, sehingga Aulia Rahman segera akan mengembalikan bingkisan tersebut kepada KPK. Sikap tegas yang dilakukan oleh wakil rakyat itu tentu saja patut mendapat apresiasi yang baik dari masyakarat dan pemerintah karena berani mempertahankan harga diri dan martabatnya. Seharusnya para pejabat publik lainnya mengikuti langkah Aulia Rahman.

Namun demikian, di sisi lain, seharusnya KPK juga menegur keras perusahaan dan pengusahanya yang nyata-nyata sudah memberikan bingkisan kepada pejabat meskipun dilarang. Sangat tidak pantas pengusaha menggoda para pejabat dengan bingkisan-bingkisan yang potensial menghantarkan para pejabat ke penjara – jika melanggar pasar gratifikasi.

Dalam konteks ini, kami menghimbau sebaiknya perusahaan juga mengedepankan aspek moral yang tercantum dalam kaidah good corporate governance (GCG). Terima kasih.

(Sumber : Okezone Dotcom (28/9/2007), Rakyat Merdeka Dotcom (28/9/2007), Kontan (29/9/2007), Sinar Harapan (29/9/2007), Koran Tempo (1/10/2007), Pelita (1/10/2007), Suara Pembaruan (1/10/2007), Bisnis Indonesia (3/10/2007), Majalah Tempo (14/10/2007, Majalah Trust (8-21/9/2007), Bisnis Jakarta (8/10/2007).

Ketua Panja Illegal Logging DPR Kembalikan Bingkisan dari Raja Garuda Mas (RGM)

[Detik Dotcom] - Meski KPK telah melarang pejabat negara menerima bingkisan Lebaran, ternyata masih ada perusahaan yang nekat memberikan parcel. Salah satunya PT RGM Indonesia. Parcel itu diterima Aulia Rahman, Ketua Panja Illegal Logging yang juga anggota FPG DPR. Namun, karena takut dengan pasal gatifikasi, Aulia berencana mengembalikan bingkisan berukuran 25 X 25 cm itu.

“Saya ini pejabat negara, karena ada UU Gratifikasi dan seruan lasangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya akan mengembalikan ini,” kata Aulia dalam jumpa pers di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Jumat (28/9).

Aulia juga mengaku tidak kenal mengenal pimpinan RGM. “Saya tidak kenal dengan para pejabatnya, dan pekerjaan saya tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu. Memang saya menjadi Ketua Panja Illegal Logging, dan saya pernah mengeluarkan pernyataan kerusakan hutan tanggung jawab siapa,” beber Aulia.

Bingkisan yang dibungkus dengan kertas coklat itu diberikan menjelang buka puasa Kamis, 27 September. Bingkisan itu dikirimkan langsung ke rumahnya di kawasan Cikini. “Saya tidak berhak membuka di sini, biar nanti saya serahkan ke KPK biar dibuka, kalau mau.” Kata Aulia.

Kepada wartawan, Aulia memperlihatkan amplop bertuliskan “Kepada Yth, Bapak Aulia Rahman SH di tempat”. Di sudut lain tertulis “Dari PT RGM Indonesia di Jalam MH Thamrin, No 31, Jakarta 10230”. “Namanya saja sudah salah, padahal saya sudah doctor,” cetus Aulia. (*)

Rabu, 26 September 2007

Mendukung BPK Soal Audit Pungutan Biaya Perkara MA

[Indonesian Care Group] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu mendapat dukungan publik secara luas. Mengapa ? sebagaimana manusia pada umumnya, para pejabat MA juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Apalagi BPK merasa dihalang-halangi ketika akan melakukan audit soal pungutan biaya perkara– yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier -- seperti diberitakan media ini -- BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.Keberatan MA tersebut mengherankan, karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Kami dan Indonesian Good Governance Care (IGCC) sangat menyesalkan sikap MA yang tidak kooperatif untuk diaudit oleh BPK. Padahal jika tidak ada persoalan, seharusnya MA dengan sikap ksatria tidak mempermasalahkan soal audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara – sebagaimana yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya. Penolakan yang dilakukan oleh MA semakin menjatuhkan image MA karena tidak transparan dan tidak akuntable. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara.

Sudah sepantasnya kita semua menyemangati BPK untuk tidak kendor melawan arogansi institusi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini, justeru seharusnya mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik, yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY. (*)

Penggelapan Pajak Asian Agri : Kerugian Negara Bisa Lebih Besar

[Republika] - Kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan PT Asian Agri, perusahaan milik Sukanto Tanoto, diperkirakan lebih besar dari perhitungan semula. Untuk mengungkapnya, Ditjen Pajak telah memanggil puluhan saksi dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP).

''Jumlah saksi sementara sudah 53 orang, yang dipanggil untuk di-BAP-kan sudah 46 orang,'' kata Dirjen Pajak, Darmin Nasution, Selasa (25/9). Sejauh ini, Ditjen Pajak telah menetapkan lima tersangka, yakni jajaran direksi Asia Agri. Hasil penyidikan Ditjen Pajak, ungkap Darmin, jumlah kerugian negara diperkirakan terus bertambah.

Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak, Mochamad Tjiptardjo, menambahkan, aparatnya terus berupaya menguatkan bukti-bukti bahwa Asian Agri dan pemiliknya sengaja menggelapkan pajak. ''Kalau bukti dan data yang dimiliki pemerintah tidak kuat, dibawa ke pengadilan, nanti tersangkanya bisa lepas, kan sayang,'' kata Tjiptardjo.

Menurut dia, kasus Asian Agri adalah kasus berat dan melibatkan 15 perusahaan milik Sukanto Tanoto. ''Ini kasus terbesar yang pernah ditangani Ditjen Pajak, makanya kita hati-hati.''
Asian Agri diduga melakukan tiga modus penggelapan pajak dengan total kerugian negara mencapai Rp 786,3 miliar. Pertama, menggelembungkan biaya perusahaan Rp 1,5 triliun. Kedua, menggelembungkan kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga, mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar.

Lewat ketiga modus ini, Asian Agri diduga menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Harusnya, pemerintah menarik PPh sebesar 30 persen atas keuntungan yang disamarkan menjadi kerugian. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan ini, jelas Darmin, berasal dari SPT tahun pajak 2002-2005. Untuk SPT tahun pajak 2006 belum tercantum. (*)