Jumat, 30 November 2007

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung Harus Mendorong Tegaknya Hukum Bisnis

[The Indonesia Watch] - Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) perlu bergandengan tangan untuk menegakkan hukum sebagai panglima di negara ini. Hal ini penting dikedepankan, agar para hakim perkara yang dinilai melakukan penyimpangan dapat ditindak, sekaligus diberikan sanksi oleh lembaga peradilan tertinggi itu. Pada saat ini, banyak sekali hakim-hakim yang diadukan kepada KY & MA karena dalam memberikan putusan dinilai cenderung memihak kepada pihak tertentu, padahal seharusnya bertindak secara imparsial.

Rupanya, hal ini pula yang diadukan oleh Todung Mulya Lubis, pengacara kondang dari Lubis, Sentosa & Maulana (LSM). Todung berencana mengadukan hakim di PN Negeri Kota Bumi dan PN Gunung Sugih (Lampung) kepada KY & MA karena hakim tersebut cenderung memihak kepada para penggugat. Seperti diketahui, Gunawan Yusuf, bos PT Garuda Panca Artha (GPA) mengadukan pemilik Salim Group terkait dengan penggelapan asset di BPPN, di mana Gunawan Yusuf telah membeli salah satu aset Salim Group melalui BPPN.

Dalam catatan Todung, setidaknya ada beberapa kejanggalan keputusan yang dilakukan oleh hakim di PN tersebut yang sangat kontradiktif. Pertama, dalam putusan itu di satu sisi hakim menyatakan bahwa keluarga Salim telah melanggar ketentuan dalam Master Settlemenet and Acquisition Agreement (MSAA) mengenai asset-aset yang diserahkan harus bersih (free and clear) dari segala utang, namun di sisi lain hakim justeru memutuskan bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan pemerintah kepada keluarga Salim tetap sah dan meningkat.

Kedua, hakim di PN Kotabumi dalam putusannya menyaakan bahwa hanya keluarga Salim yang melanggar MSAA sedangkan BPPN yang turut menandatangani MSAA tidak melakukan pelanggaran karena menjalankan kebijakan pemerintah. Padahal, lembaga BPPN lah yang memberikan SKL sebagai wujud kepastian hukum kepada keluarga Salim.

Ketiga, dalam putusannya kedua PN tersebut juga menyatakan perjanjian pembelian saham dan pengalihan utang bersyarat (Conditional Sale Purchase and Loan Transfer/CSPLTA) antara BPPN bersama Holdiko Perkasa dengan PT Garuda Panca Artha (GPA) batal dan tidak berkekuatan hukum. Padahal, CSPLTA merupakan dasar serta alasan hak bagi Gunawan Yusuf – pemilik Garuda – dalam memiliki Sugar Group Companies (SGC). Dengan dibatalkannya CSPLTA maka secara mutatis mutandis, Garuda tidak lagi memiliki alas hak apapun untuk menggugat keluarga Salim maupun tergugat lainnya.

Terus terang, inilah saatnya kita menghentikan keruwetan-keruwetan hukum yang potensial terjadi dalam berbagai kasus hukum bisnis. Oleh sebab itu, kami mendukung sepenuhnya upaya-upaya untuk mengadukan hakim-hakim yang dinilai memihak atau bertindak tidak imparsial kepada lembaga Komisi Yudusial (KY) maupun Mahkamah Agung (MA) dalam kerangka mencari keadilan yang sesungguhnya. Saatnya kita semua, terutama para hakim menegakkan keadilan mulai dari dalam dirinya sendiri. Mudah-mudahan.

Rabu, 14 November 2007

KPK Harus Memonitor Kasus Penggelapan Pajak Asian Agri

[The Indonesia Watch] - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya turut memonitor kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri, anak perusahaan di lingkungan Raja Garuda Mas (milik Sukanto Tanoto, konglomerat asal Medan). Pemantauan yang dilakukan oleh KPK sangat penting, soalnya kasus ini melibatkan potensi kerugian negara yang sangat besar yaitu sebesar Rp 1,3 triliun. Angka fantastis ini bisa membengkak lagi, soalnya perhitungan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak belum tuntas betul.

Mengapa pemantauan oleh KPK ini penting ? Setidaknya kami memiliki tiga poin argumentasi yang sepantasnya mendapat perhatian sungguh-sungguh dari KPK. Pertama, angka Rp 1,3 triliun potensi kerugian negara ini, merupakan angka yang sangat besar. Jika bisa diselamatkan, maka angka ini tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi prestasi pencapaian target penerimaan pajak oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan (Depkeu) RI.

Kedua, pemantauan KPK atas kasus ini tentu saja menjadi semacam watch dog yang mampu meminimalisasi potensi terjadinya kong-kalikong antara aparat dengan pihak PT Asian Agri. Berdasarkan pengalaman, beberapa kasus yang melibatkan penggelapan pajak, biasanya melibatkan oknum aparat dengan pengusaha. Mudah-mudahan, melalui pemantauan yang dilakukan KPK, dapat menutup rapat-rapat celah bagi aparat untuk melakukan perbuatan jahat terhadap negara dan rakyat Indonesia.

Ketiga, beberapa waktu lalu pernah mencuat adanya wacara out of court settlement atau penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pandangan kami, wacana seperti hanyalah merupakan pekerjaan tim public relations yang mencoba mengalihkan perhatian atau issu yang sedang berkembang. Ini harus diwaspadai secara serius oleh KPK, soalnya jika pejabat Depkeu terjebak dalam skenario demikian, maka hal ini memiliki implikasi buruk : soalnya penyelamatan keuangan negara bisa berantakan (1), sekaligus bisa menghancurkan agenda utama pemerintahan SBY dalam penegakkan hukum (2).

Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami sangat berterima kasih jika pihak KPK, melalui Juru Bicara KPK Johan Budi untuk dapat menjelaskan kepada masyarakat luas, kontribusi apa saja yang sudah dilakukan oleh KPK terhadap mega kasus penggelapan pajak ini. Penjelasan KPK sangat penting, karena di tengah-tengah dukungan publik yang cukup baik terhadap kinerja yang dilakukan oleh KPK, muncul kesan bahwa keterlibatan KPK dalam pemantauan kasus Asian Agri ini tidak ada, atau kalau pun ada (mungkin) sangat minimal. Terima kasih.


Senin, 12 November 2007

Gus Sholah: Usut capres terima dana `illegal logging`

[Harian Terbit] - Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2004, Sholahuddin Wahid, akrab disapa Gus Sholah, meminta aparat penegak hukum memeriksa dan menyelidiki siapa-siapa saja calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2004 yang menerima dana dari konglomerat pencuri kayu atau dana illegal logging.

"Tim sukses kami tidak menerima dana haram seperti itu, dan saya tidak tahu soal itu. Untuk mencari kebenaran, ya tentu penegak hukum harus menelusurinya," kata Gus Sholah menjawab Harian Terbit di Jakarta, Minggu malam (11/11).

Cawapres yang berpasangan dengan Capres Wiranto ini menanggapi pernyataan Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi), Indro S Tjahyono yang mensinyalir beberapa capres menerima dana dari konglomerat pencuri kayu.

Dihubungi terpisah, mantan anggota tim sukses Capres Wiranto, yang juga Ketua DPP Partai Hanura, Samuel Koto juga mengaku tidak mengetahui persis persoalan tersebut. "Faktanya saja belum diungkap, jadi belum tahu kebenarannya. Saya tegaskan, tim sukses Pak Wiranto tidak menggunakan dana haram itu," ujar Samuel.

Lebih lanjut Samuel mengatakan, yang terpenting untuk diketahui publik adalah soal mekanisme aliran dana pemilu. Samuel menilai, selama ini mekanisme aliran dana pemilu tidak berjalan sesuai aturan yang ada.

"Dana pemilu itu harus dipertanggungjawabkan. Aturannya, dana pemilu itu kan harus melalui panitia pemilu, dalam hal ini KPU, KPUD atau KPU tingkat kabupaten. Tapi kenyataannya, banyak dana-dana yang di luar APBD yang masuk ke para peserta pemilu. Ini jelas melanggar ketentuan. Kenapa persoalan ini tidak pernah diungkap? Jadi, sistemnya sudah salah," tambah Samuel.

Hal senada dikemukakan tim sukses Capres 2004 Mega-Hasyim, Andi Djamaro, menurutnya, ia tidak tahu soal dana illegal logging (Pembalakan liar) mengalir kepada capres 2004. "Saya kebetulan hanya bagian pengeluaran dana. Karena itu saya tak tahu soal asal dana dari mana.
Siapa yang bagian penerima dana? Andi mengaku tidak mengetahuinya. "Pokoknya waktu itu saya bertugas mengeluarkan dana untuk keperluan kampanye". [Senin : 12/11/2007, Foto : Tebuireng.Net]

Presiden Diminta Pimpin Pemberantasan Illegal Logging

[Elshinta Online] -Presiden RI dinilai harus menjadi pemimpin atau panglima komando untuk memberantas pembalakan hutan secara liar atau illegal logging di Indonesia.

Hal itu dikatakan Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Soeripto usai acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/11).

Soeripto mengatakan, Presiden sebagai pemimpin negara harus menjadi panglima komando jika ingin benar-benar memberantas illegal logging di Indonesia. Salah satu contoh yang harus dilakukan oleh Presiden adalah dengan cara mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengganti Undang-Undang Kehutanan yang ada saat ini yang dinilai lemah.

Seluruh komponen masyarakat Indonesia dinilai juga harus memiliki persepsi yang sama bahwa illegal logging adalah ancaman bagi kerusakan lingkungan nasional yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan, banjir, dan juga mengakibatkan satwa-satwa punah. (Sabtu : 10/11/2007, Foto : Damar.Net)

Sabtu, 10 November 2007

SKEPHI: Pembalak Liar Setor Uang ke Capres

[Antara News] - Upaya pengentasan aksi pembalakan liar hutan Indonesia tidak akan berlangsung secara serius karena semua pihak di semua tingkat sudah terlibat, kata Indro Cahyono, Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI).

"Mafia pencuri kayu bahkan sudah mengirim uang kepada tiap-tiap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mereka juga menopang dana hampir semua pasangan dalam pilkada," tuding Indro ketika berbicara dalam diskusi bertajuk "Hutan Kau Babat, Kau Kubebaskan" yang digelar jaringan Radio Ramako, di Jakarta, Sabtu.

Menurut Indro, mafia pembalakan liar sudah merasuki semua tingkatan dan instansi, sehingga sulit rasanya bisa membayangkan para pelaku dibawa ke meja hijau dan dihukum. Data SKEPHI menunjukkan bahwa para pelaku pembalakan liar di hutan Indonesia hanya 0,1 persen saja kasusnya yang sampai ke tahap penuntutan di pengadilan, dan itu pun diputus bebas oleh majelis hakim.

"Ini bukan soal hambatan aturan hukum, sampai-sampai kita sulit sekali menjerat para pelaku pembalakan liar. Tapi ini adalah soal political will apakah kita benar-benar ingin memberantas kejahatan ini atau tidak," ujar Indro.

Belajar dari putusan bebas Adelin Lis, terdakwa pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, baru-baru ini, lanjut Indro, terlihat bahwa hukum telah diciptakan sedemikian rupa sehingga ada dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum.

Bagi Departemen Kehutanan, pembalakan liar adalah tindakan membalak di luar kawasan yang diberikan izin HPH atau HTI. Bila terbukti membalak di luar kawasan berizin, maka pelakunya kenakan sanksi administratif dan denda saja.

"Sedangkan bagi aparat penegak hukum, aksi pembalakan di luar kawasan berizin harus dikenakan sanksi pidana, karena sudah merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan orang banyak," kata dia.

Indro mengkritik ketentuan hukum buat para pembalak liar yang masih longgar dan hanya diganjar denda atau sanksi administratif, padahal dampak kegiatan itu sangat membahayakan orang lain. "Seharusnya sanksi administratif pun ada batasannya, jangan tidak terbatas seperti yang ada sekarang," katanya.

Khusus mengomentari putusan bebas Adelin Lis, Indro melihat putusan itu tak lebih dari bukti kuatnya mafia pembalakan liar yang sudah menguasai sistem peradilan di Tanah Air. "Adelin adalah gambaran karikatur kejahatan korporasi pencuri kayu, yang para pelakunya kebal dari jeratan hukum," ujar dia. Bahkan di Jawa, masih kata Indro, jaringan pelaku pembalakan liar berkekuatan untuk mengendalikan para jaksa, hakim, dan aparat penegak hukum.

Mafia pembalakan liar hutan melindungi Adelin Lis, ungkap Indro, "Lihat saja, hakim kasus Adelin langsung naik pangkat setelah memberi putusan bebas, dan mereka pun dipindah ke luar kota. Mereka juga menolak diperiksa oleh Komisi Yudisial."

Sementara itu Mulfachri Harahap, Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, mengatakan bahwa multi-tafsir yang muncul di kasus pembalakan liar harus segera ditinjau oleh DPR. Sebagai pihak yang membuat undang-undang, DPR berkewajiban melihat celah hukum agar tidak menimbulkan tumpang tindih dan tafsir beragam. (Sabtu : 10/11/2007)

Kamis, 08 November 2007

Serikat Pekerja Lapor Polisi, Bank Mandiri Tak Mengakui

[Kontan] - JAKARTA. Serikat Pekerja Bank Mandiri (SPBM) melaporkan Direktur utama (Dirut) Bank Mandiri, Agus Martowardojo ke Mabes Polri. SPBM melaporkan Agus lantaran memperpanjang masa skorsing pada 14 orang anggota SPBM yang terlibat dalam unjuk rasa menuntut kesejahteraan karyawan pada Agustus silam.

Mirisnu Viddiana, Ketua SPBM, mengungkapkan SPBM melaporkan Agus ke polisi dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan dan anti serikat pekerja. "Yang penting adalah tuduhan anti serikat pekerja," kata Viddiana kepada KONTAN, Rabu (7/11).

Kedua tuduhan itu diatur dalam Pasal 335 KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Untuk pelanggaran undang-undang serikat buruh, SPBM menggunakan Pasal 28 juncto Pasal 43. Kedua pasal itu mengatur tentang perlindungan hak berorganisasi dan sanksi bagi pihak yang menghalangi hak untuk membentuk serikat pekerja atau serikat buruh.

Menurut Viddiana, yang juga menjabat Assisten Vice Presiden Bank Mandiri, direksi memutuskan memperpanjang masa skorsing hingga tiga bulan ke depan atau sampai Januari 2008. "Padahal, masa skorsing dimulai sejak Agustus dan September lalu," ujar Viddiana.
Tuntutan yang hingga kini belum terpenuhi adalah permintaan kenaikan gaji 20%, transparansi insentif untuk karyawan, tunjangan kesehatan, program pensiun hingga jenjang karier. Soal insentif misalnya, menurut Viddiana, manajemen memang sudah memberikan insentif namun penentuan besarannya tak transparan.

Namun, I Wayan Agus Mertayasa, Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, meragukan laporan itu. "Kami sudah meminta klarifikasi kepada Ketua SPBM Cahyono Syam Sasongko bahwa tidak pernah ada laporan ke Mabes Polri," katanya melalui SMS kepada KONTAN.

Wayan juga menyatakan bahwa Bank Mandiri tak mengakui SPBM yang diketuai Viddiana. "Pengurus SPBM yang saat ini tercatat pada Dinas Tenaga Kerja Jakarta adalah SPBM Pimpinan Cahyono," tandasnya.

Bank Mandiri juga menegaskan telah memenuhi tuntutan karyawan. Misalnya, sepanjang 2006, Bank Mandiri sudah memberikan insentif kepada pegawai pelaksana secara keseluruhan hingga 19,9 kali gaji, dan sudah menaikkan gaji sebanyak dua kali sepanjang 2007. Kenaikan itu terjadi pada Februari sebesar 10% dan Juli sekitar 4%-18% yang disesuaikan dengan prestasi tiap-tiap karyawan. (Kamis : 8/11/2007)

Polri Tuduh Ada Konspirasi dalam Kasus Adelin Lis

[Antara News] - Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto, menuduh ada konspirasi antara aparat dengan mafia pembalakan liar dibalik vonis bebas terdakwa Adelin Lis di Pengadilan Negeri Medan, 5 November lalu. "Ada indikasi telah terjadi konspirasi dengan mafia illegal logging sehingga terjadi vonis bebas terhadap Adelin Lis," kata Sisno di Jakarta, Kamis pagi.

Sisno menjelaskan, dugaan adanya konspirasi itu muncul karena proses pelepasan Adelin Lis dari tahanan kejaksaan berlangsung secara tidak wajar pasca keluarnya putusan majelis hakim.
"Vonis bebas Adelin Lis terjadi tanggal 5 November 2007 sekitar jam 13.00 WIB siang dan dan dilepaskan dari tahanan jam 23.30 malam dengan Surat Eksekusi No 2240/Pid B/2007 tertanggal 1 November 2007," katanya

Menurut dia, surat eksekusi yang dikeluarkan sebelum putusan hakim itu patut dicurigai. "Kok bisa vonis tanggal 5 November tapi surat eksekusi tanggal 1 November ?," ujarnya. Hal lain yang memperkuat adanya konspirasi adalah waktu pelepasan Adelin yang dilakukan tengah malam. "Mana ada mengeluarkan tahanan kok tengah malam kalau hal ini bukan bagian dari konspirasi," katanya.

Kendati divonis bebas, Adelin Lis belum bisa bernafas lega sebab jaksa penuntut umum melawan putusan hakim dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Polri pun telah mengeluarkan jeratan baru untuk Adelin yakni dugaan tindak pidana pencucian uang bahkan dalam kasus ini ia telah menjadi tersangka.

Akan tetapi, usai dikeluarkan dari tahanan, Adelin menghilang padahal penyidik Polri sedang memburunya untuk dimintai keterangan dalam kasus pencucian uang. Polda Sumut telah menyatakan sebagai Adelin buron. (Kamis : 8/11/2007)

Selasa, 06 November 2007

Menilai Wajar Adelin Lis Bebas, Komentar Menhut MS Kaban Cukup Aneh

[Okezone Dotcom] - Departemen Perhutanan (Dephut) akan memproses kesalahan administrasi atas perkara illegallogging yang dilakukan oleh terdakwa pembalakan liar Adelin Lis. Hal itu diungkapkan Menteri Kehutanan MS Kaban, usai rakor di Departemen Keuangan, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (5/11/2007).

Menurutnya, jika penebangan dilakukan di kawasan hutan yang tidak berizin maka itu termasuk illegal logging. Seperti diketahui, vonis oleh Pengadilan Negeri Medan terhadap kawasan yang berizin adalah bebas.

Dia menjelaskan, inpres memerintahkan operasi dilakukan dalam kawasan hutan yang tidak punya izin. Tapi selama ini yang punya izin pun terkena operasi. "Jadi artinya wajar jika hakim memutuskan seperti itu ke Adelin Lis. Saya komentarnya menghormati sistem," tegasnya.

Kaban menyerahkan persoalan banding tersebut ke Kejaksaan. Mengenai hukuman administrasi yang ditangani Dephut, Kaban memastikan akan ada denda administrasi.

"Ya mereka akan kena denda administrasi.dendanya cukup besar,saya tidak ingat. Dia punya izin,dia bayar pajak. Sekarang saya harus liat dulu keputusan hakim seperti apa.Jika itu menyatakan ada kesalahan administrasi, maka akan ditindak lanjuti," tutur MS Kaban.

Untuk diketahui, Adelin diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Medan atas dugaan pembalakan liar. Direktur Keuangan PT Keang Nam Development itu sebelumnya dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. (Selasa : 6/11/2007)

Vonis Bebas Adelin Antiklimaks Pemberantasan Pembalakan Liar

[Media Indonesia] - Putusan bebas murni Adelin Lis dianggap sebagai antiklimaks dari komitmen penegakan hukum pemerintah untuk memberantas para pembalak liar. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad menyampaikan hal itu saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Senin (5/11).

Menurut Chalid, putusan tersebut makin menunjukkan bahwa Pemerintah tidak serius dalam penegakan hukum para pelaku kejahatan kehutanan. "Ini antiklimaks yang bisa menghancurkan kepecayaan publik terhadap komitmen penegakan hukum di Indonesia," tandas Chalid.

Selain kepercayaan masyarakat dalam negeri, Chalid juga mengingatkan keputusan bebas Adelin Lis juga akan menghancurkan kepercayaan dunia internasional terhadap komitmen Indonesia pada hukum dan lingkungan.

"Putusan ini juga bisa menghancurkan kepercayaan dunia internasional apalagi hendak dilangsungkannya konferensi internasional perubahan iklim di Bali beberapa waktu ke depan," tandas Chalid.

Menurut dia, publik dalam maupun luar negeri tentunya akan melihat putusan bebas tersebut sebagai salah satu drama hukum bagi pembalak liar yang ujung-ujungnya dibebaskan. Apalagi didukung dengan fakta bahwa di tengah proses peradilan Adelin Lis, Menhut MS Kaban sempat melakukan korespondensi dengan kuasa hukum Adelin.

Dalam korespondensi tersebut, Kaban menyatakan bahwa yang terjadi dengan hutan Sumut bukan kesalahan Adelin namun hanyalah kesalahan administrasi semata. "Terlepas dari fakta hukum di pengadilan, Korespondesi itu bisa diinterprestasikan sebagai pendapat yang mendorong putusan bebas Adelin Lis. Ini jelas bentuk ketidakseriusan pemerintah meringkus kejahatan pembalakan liar," tukas Chalid.

Pada kesempatan itu, dia juga mengkritik Menkopolhukam yang menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tak menemukan adanya indikasi keterlibatan aparat pemerintah dalam pembalakan liar. Pernyataan yang disampaikan usai rapat paripurna Tim Pemberantasan Illegal Logging, Jumat (2/11) lalu, menurut Chalid, sebaiknya ditarik dan diserahkan pada proses hukum yang benar. "Karena jelas-jelas kami menemukan fakta adanya keterlibatan pejabat negara (dalam pembalakan liar)," tutur dia.

Secara terpisah, pengamat hukum pidana UI Rudi Satryo mengatakan bahwa putusan bebas Adelin menunjukkan lemahnya kemampuan aparat hukum Indonesia dalam menunjukkan bukti pembalakan liar. "Ini harus dievaluasi. Karena inilah bukti bahwa aparat kita masih lemah. Masih ada kesempatan kasasi di MA. Pembuktian itu yang paling utama dikuatkan," kata Rudi.

Dia melanjutkan bahwa selama ini memang pemerintah yang berkuasa dinilai mulai menunjukkan adanya komitmen dalam penegakan hukum. "Tapi masalahnya sekarang adalah ketidakmampuan aparat kita membuktikan. Makanya sekali lagi seharusnya jangan main-main. Hars benar-benar kuat dalam proses hukumnya," tandasnya. (Selasa : 6/11/2007)

Sabtu, 03 November 2007

Laks Akhirnya Jadi Korban Tebang Pilih SBY

[Harian Terbit] -Penetapan mantan Menneg BUMN, Laksamana Sukardi, sebagai tersangka kasus penjulan dua tanker VLCC milik Pertamina, menunjukan Pemerintahan SBY masih melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.

Beberapa sumber yang dihubungi terpisah Jumat petang terkait penetapan Laks sebagai tersangka, sama menuding di balik penetapan itu sudah terjadi tebang pilih dalam penegakan hukum. Hanya saja, alasan di balik kebijakan tebang pilih itu yang berbeda. Orang-orang dari kelompok Laks melihat, tebang pilih itu terjadi karena ada kekuatan politik tertentu melalui Pansus DPR yang berhasil menunggangi kejaksaan.

Mereka tak melihat, tebang pilih itu sebagai kebijakan Presiden SBY yang hanya menangkapi lawan-lawan politiknya. Sementara Sekjen Partai Persatuan Daerah (PDP) Adhie M Massardie mengemukakan, penetapan Laks sebagai tersangka masih terkesan karena politik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Soalnya, hingga kini masih banyak koruptor kakap yang belum dijadikan tersangka, padahal bukti sudah sangat kuat untuk menangkap mereka.

Menurut mantan juru bicara Kepresidenen di era Gus Dur itu, dalam hal pemberantasan korupsi ada skenario dari pemerintahan SBY-JK untuk menangkapi 'lawan-lawan' politiknya agar mulus kembali menjadi presiden pada Pemilu 2009. Terutama lawan-lawan politik yang berpotensi besar menjadi saingannya pada 2009.

Kuasa hukum Laksamana Sukardi (Laks), Petrus Selestinus kepada Harian Terbit di Jakarta, kemarin, mengatakan tidak terkejut dengan sikap Kejaksaan Agung menetapkan Laks sebagai tersangka, sebab kasus ini sejak awal sudah menjadi target Pansus Tanker DPR RI dengan memperalat tangan Jaksa Agung agar Laks dijadikan tersangka.

''Kini kejaksaan Agung sudah berhasil 'ditunggangi' dalam menetapkan Laksamana tersangka, demi memenuhi keinginan sekelompok orang di Pansus DPR-RI," kata Petrus.

Bukti masih tebang pilihnya pemberantasan korupsi, terlihat dalam kasus pembelian alat sidik jari Depkumham, di mana hanya Sekjennya yang dijadikan KPK sebagai tersangka.

Ketua Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Noviantika Nasution berpendapat, dijadikannya Laks sebagai tersangka sangat kental nuansa politis dibanding penegakan hukum. Hal ini terlihat jelas dari pengusutan yang dilakukan selama ini.

"Dua tahun ditangani KPK, lembaga ini tidak menemukan adanya tindakan Laks yang merugikan keuangan negara. Tapi, begitu diambilalih Kejaksaan Agung, malah Laks langsung jadi tersangka. Tentu hal ini ada apa-apanya. Saya melihat, ini adalah permainan Pansus Tanker, Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung. Anda kan tahu siapa di Pansus dan di Komisi III," kata Noviantika tanpa mau menyebutkan nama fraksi dan orang yang dia maksud. (Sabtu : 3/11/2007).